INFOTANGERANG.ID- Malam 1 Suro selalu menjadi momen sakral yang menyimpan beragam makna bagi masyarakat Jawa.

Tahun ini, malam keramat tersebut jatuh pada hari Kamis malam, 26 Juni 2025 yang bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1447 H dalam kalender Islam.

Pada malam 1 Suro ini, masyarakat Jawa mengenal berbagai tradisi untuk menyambut malam keramat itu.

Lalu mengapa malam 1 Suro tersebut begitu sakral dan keramat? Apa sebenarnya makna spiritual di baliknya? Simak informasi selengkapnya di bawah ini.

Asal Usul Malam 1 Suro

Ilustrasi Malam 1 Suro
Ilustrasi Malam 1 Suro

Asal mula malam 1 Suro dapat ditelusuri mulai dari masa kepemimpinan Sultan Agung Hanyakrokusumo, Raja Mataram abad ke-17.

Pada tahun 1633 M, beliau menciptakan Kalender Jawa, sebuah sistem penanggalan unik yang memadukan kalender Islam (Hijriah) dengan kalender Saka Hindu.

Tanggal 1 Suro lah yang kemudian ditetapkan sebagai awal tahun dalam Kalender Jawa.

Pembuatan Kalender Jawa sendiri bukan sekadar administratif, melainkan bentuk upaya Sultan Agung untuk menyatukan rakyat dan kerajaan, terutama di masa sulit ketika Mataram menghadapi ancaman.

Karena alasan itulah, Sultan Agung mengganti upacara kerajaan Rajawedha dengan ritual malam 1 Suro, yang lebih membumi dan menyentuh spiritualitas rakyat, khususnya para petani, melalui praktik bernama Gramawedha.

Sejak saat itu, malam 1 Suro dipandang sebagai momen spiritual yang penuh makna, bukan hanya suci, tapi juga sarat nilai sakral yang mengajak masyarakat untuk merenung, mawas diri, dan mendekatkan diri pada Sang Pencipta.

Di sinilah terbentuk nilai mawas diri, “eling lan waspodo”, serta peningkatan spiritualitas di awal tahun baru Jawa.

Menariknya, istilah “Suro” justru berasal dari kata Arab “Asyura”, yang artinya sepuluh, merujuk pada 10 Muharram, hari penting dalam kalender Islam.

Tak mengherankan jika malam 1 Suro memiliki dimensi ganda, religius sekaligus budaya, yang begitu kuat terasa di tengah masyarakat Jawa.

Untuk menyambut malam penuh makna ini, masyarakat menggelar berbagai tradisi yang masih lestari hingga kini.

Beberapa di antaranya yang paling dikenal antara lain:

1. Kirab Kebo Kyai Slamet di Keraton Surakarta

2. Ziarah ke makam leluhur

3. Ritual siraman untuk pensucian diri

4. Tapa bisu, yaitu ritual hening tanpa sepatah kata pun yang biasanya dilangsungkan di kawasan Keraton Yogyakarta.

Semua ini menggambarkan betapa malam ini bukan sekadar penanda waktu, tapi juga ajakan untuk refleksi dan penyucian jiwa.

5 Mitos Pantangan Malam 1 Suro yang Masih Diyakini

Walau zaman terus berganti, berbagai mitos larangan di malam 1 Suro masih kuat diyakini oleh sebagian masyarakat.

Kepercayaan turun-temurun ini tetap bertahan sebagai bagian dari warisan budaya yang dianggap sarat makna spiritual.

Banyak masyarakat Jawa yang masih memegang teguh pantangan-pantangan yang dianggap bisa membawa kesialan atau marabahaya.

Adapun mitos pantangan-pantangan yang harus dihindari tersebut adalah sebagai berikut:

1. Weton Tertentu Dilarang ke luar Rumah

Masyarakat Jawa percaya bahwa mereka yang lahir pada weton tertentu diyakini rentan menjadi sasaran tumbal.

Malam 1 Suro disebut sebagai waktu aktif para pelaku ilmu hitam mencari korban sehingga bagi individu dengan weton tertentu sebaiknya tidak ke luar rumah.

2. Dilarang Bersuara atau Membuat Kebisingan

Di sejumlah daerah, khususnya di lingkungan Keraton, digelar tapa bisu, sebuah ritual yang dijalani dalam keheningan mutlak.

Pesertanya menahan diri dari berbicara, makan, maupun aktivitas lain sebagai simbol penyucian diri dan laku spiritual.

Seluruh laku sunyi itu dijalani sebagai wujud introspeksi diri, sekaligus upaya untuk mendekatkan hati kepada Sang Pencipta di awal tahun yang baru.

3. Tidak Boleh Menikah atau Menggelar Pesta

Menikah di bulan Suro dianggap mendatangkan sial dalam rumah tangga. Meski tak berdasar syariat agama, kepercayaan ini kuat dalam budaya masyarakat Jawa.

4. Pantang Pindah Rumah

Konon, pindah rumah di malam 1 Suro bisa membawa kesialan atau gangguan gaib, sehingga banyak orang menunda perpindahan demi menghindari hal buruk.

5. Tidak Membangun Rumah

Sama seperti pindah rumah, membangun rumah pada malam 1 Suro juga dipercaya mendatangkan kesulitan, mulai dari sakit-sakitan hingga rezeki yang seret.

Melansir dari Kompas.com, Tundjung W. Sutirto, budayawan dan dosen di Universitas Sebelas Maret mengatakan, mitos-mitos yang berkembang mengenai malam 1 Suro ini adalah bentuk interpretasi spiritual dari penyatuan kalender Islam dan Jawa.

“Mitos itu bukan hal yang lahir instan. Ia terbentuk perlahan karena masyarakat menganggap momentum ini sakral dan penting dalam perhitungan hidup,” jelasnya sebagaimana dilansir dari Kompas.

Tradisi seperti kirab pusaka yang kini rutin dilakukan di Keraton Surakarta ternyata baru dimulai pada 1974 atas permintaan Presiden Soeharto.

Artinya, budaya Suro terus berkembang sesuai konteks zaman.

Dapatkan Berita Terbaru lainya dengan Mengikuti Google News Infotangerang
sosmed-whatsapp-green Follow WhatsApp Channel Infotangerang
Follow
Iis Suryani
Editor
Iis Suryani
Reporter