INFOTANGERANG.ID- Insiden keracunan MBG atau Makan Bergizi Gratis massal terus terjadi di berbagai wilayah, membuat banyak pihak mendesak agar program ini dihentikan sementara untuk evaluasi menyeluruh.

Bupati Bandung Barat telah menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) menyusul 364 siswa dari PAUD hingga SMA/SMK yang dilaporkan keracunan akibat menu MBG per Senin, 22 September 2025.

Menurut Badan Gizi Nasional (BGN), total kasus keracunan MBG yang tercatat dari tiga wilayah mencapai 4.711 kasus, dengan distribusi:

  • Wilayah I: 1.281 kasus
  • Wilayah II: 2.606 kasus
  • Wilayah III: 824 kasus

Angka ini jauh melampaui catatan kasus sebelumnya, memperkuat kesan bahwa permasalahan MBG bukan insiden tunggal, melainkan masalah sistemik.

Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi IX DPR, Grace Wangge dari Monash University mendesak pemerintah untuk segera memoratorium program MBG.

Menurutnya, “Kasus keracunan sudah berlangsung 9 bulan dann tidak bisa lagi ditunda.”

Menanggapi hal tersebut, JPPI menyampaikan rekomendasi langsung ke Presiden untuk menghentikan sementara MBG, dengan argumen bahwa keselamatan anak harus lebih diutamakan ketimbang target program politis.

ICW pun menyerukan evaluasi total terhadap MBG karena dugaan lemahnya SOP, minimnya transparansi, dan potensi politisasi.

KPAI menyuarakan bahwa keracunan MBG yang menyerang siswa PAUD menjadi alarm keras dalam program yang menyasar anak sangat rentan harus diawasi ketat atau dihentikan.

Sebagai respons, BGN menyatakan akan membentuk tim investigasi internal yang melibatkan ahli kimia untuk menelusuri sumber keracunan. Mereka juga membuka jalur hotline untuk menerima laporan masyarakat sekitar dugaan kasus.

Sementara DPR RI, di bawah kepemimpinan Ketua Puan Maharani, memastikan akan melakukan pengawasan langsung ke dapur umum MBG serta meninjau titik-titik yang bermasalah.

Presiden Prabowo juga dikabarkan akan memanggil seluruh mitra SPPG (Satuan Pemenuhan Gizi Nasional) untuk memberikan arahan baru agar kejadian serupa tidak berulang.

Mengapa Keracunan MBG Terus Berulang?

Banyak ahli dan laporan investigatif menyebut bahwa penyebab keracunan MBG berkaitan dengan:

  • Kontaminasi bahan baku atau lingkungan (bakteri, kontaminan kimia)
  • Prosedur pengolahan dan penyimpanan yang lemah
  • Jarak waktu antara masak dan konsumsi yang terlalu panjang
  • Distribusi dan pengawasan yang tidak konsisten

Kasus keracunan MBG juga telah melanda daerah seperti Cianjur, Sukoharjo, Batang, Pandeglang, dan lainnya.

Program MBG harus ditangguhkan sementara agar tidak ada korban baru. Seperti evaluasi menyeluruh harus mencakup SOP, pengawasan dapur, pelatihan tenaga dapur, serta audit bahan baku dan vendor.

Selain itu,  transparansi data, komunikasi publik, dan akuntabilitas menjadi kunci agar kepercayaan masyarakat pulih.

Sementara itu Forum Serikat Guru Indonesia (FSGI) kembali menyuarakan kegelisahan terhadap maraknya kasus keracunan dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digulirkan pemerintah.

FSGI menilai, program ini sudah saatnya dihentikan sementara (moratorium) dan dievaluasi secara menyeluruh sebelum jatuh korban lebih banyak.

“Program MBG harus segera dievaluasi total. Selama proses evaluasi, moratorium harus diberlakukan. Ini bukan lagi soal teknis, tapi soal keselamatan anak-anak,” ujar Sekjen FSGI, Fahriza Marta Tanjung, Rabu 24 September 2025.

FSGI mencatat lebih dari 6.000 kasus keracunan MBG sejak diluncurkan. Bahkan, hingga pertengahan September, kasus telah menyebar di lebih dari 14 provinsi, termasuk Pangkal Pinang, Garut, Sukoharjo, Situbondo, dan DKI Jakarta.

Insiden terbaru terjadi di Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, yang berujung pada penetapan status Kejadian Luar Biasa (KLB) dengan hampir 400 siswa terdampak.

“Ini bukan soal menunggu giliran daerah mana yang akan keracunan berikutnya. Perencanaan dan pengawasan MBG sangat lemah,” tegas Fahriza.

Libatkan Guru dan Orang Tua dalam Evaluasi

Menurut FSGI, evaluasi MBG tidak boleh dilakukan secara tertutup, melainkan harus melibatkan semua pemangku kepentingan, mulai dari kepala sekolah, guru, siswa, hingga orang tua.

“Mereka yang paling terdampak langsung. Jangan hanya duduk di pusat dan mengklaim semua berjalan baik,” ungkap Retno Listyarti, Ketua Dewan Pakar FSGI.

FSGI bahkan menemukan fakta memprihatinkan: ada sekolah yang menolak menandatangani MoU MBG karena meragukan kualitas distribusi dan tanggung jawab hukum jika terjadi keracunan.

Yang mengejutkan, anggaran MBG justru melonjak tajam. Dari Rp71 triliun di tahun 2025, naik drastis menjadi Rp335 triliun untuk 2026, meskipun hingga awal September 2025 baru terserap 22 persen.

“Alih-alih dievaluasi, anggarannya malah naik. Jangan kejar capaian politik sambil abaikan nyawa anak-anak,” kritik Retno.

FSGI menyarankan agar anggaran MBG yang tidak terserap dialihkan ke sektor pendidikan lain — seperti peningkatan kesejahteraan guru honorer dan tunjangan profesi guru.

Menu Tipis dan Makanan Basi Jadi Sorotan

FSGI juga mengungkap berbagai keluhan dari lapangan terkait mutu makanan MBG:

  • Semangka yang disajikan setipis tisu
  • Nasi basi
  • Lauk pauk yang mubazir atau tak layak makan

Semua ini memperkuat alasan bahwa MBG belum siap dijalankan secara nasional tanpa menimbulkan risiko kesehatan.

“Kami apresiasi kepala sekolah yang berani menolak program ini demi melindungi muridnya,” ujar Ketua Umum FSGI, Fahmi Hatib.

Di sisi lain, Kepala BGN 711 porsi dari 1 miliar porsi MBG yang sudah disalurkan.

“Kalau dihitung, ini hanya sebagian kecil. Tapi kami tetap akan bentuk tim investigasi dan evaluasi dapur MBG yang bermasalah,” ujar Dadan dalam konferensi pers di Jakarta, 22 September 2025.

Meski begitu, tekanan publik dan lembaga-lembaga sipil semakin kuat, mengingat kasus keracunan terus berulang dan cenderung meningkat seiring waktu.

Program Makan Bergizi Gratis seharusnya menjadi solusi pemenuhan gizi anak sekolah, namun kenyataan menunjukkan banyaknya korban keracunan MBG.

Dengan ribuan siswa terdampak, ditambah perencanaan dan distribusi yang lemah, moratorium dan evaluasi total bukan hanya penting, tapi mendesak.

Pemerintah harus mulai mendengar suara guru, siswa, dan orang tua, bukan sekadar mengejar angka keberhasilan politis. Program gizi anak tidak boleh menjadi alat politik yang mempertaruhkan nyawa generasi muda.

Dapatkan Berita Terbaru lainya dengan Mengikuti Google News Infotangerang
sosmed-whatsapp-green Follow WhatsApp Channel Infotangerang
Follow
Nadia Lisa Rahman
Editor
Nadia Lisa Rahman
Reporter