INFOTANGERANG.ID- Pada tahun 2025, skandal korupsi Pertamina memberikan dampak yang signifikan terhadap ekonomi Indonesia.
Kasus dugaan korupsi yang melibatkan banyak pihak di internal Pertamina serta jaringan internasional ini mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun.
Kasus korupsi pertamina ini tidak hanya membuat kepercayaan publik terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menurun, tetapi juga menarik perhatian nasional dan internasional karena jumlahnya yang sangat besar.
Kronologi Singkat Kasus Korupsi Pertamina
Kasus ini mulai terungkap setelah Kejaksaan Agung Republik Indonesia menyelidiki kegiatan impor minyak mentah dan produk kilang oleh PT Pertamina (Persero) dan anak perusahaannya dari tahun 2018 hingga 2023.
Dalam proses tersebut, ditemukan adanya pelanggaran hukum yang diduga menjadi penyebab kerugian negara dalam jumlah yang sangat besar.
Dugaan korupsi ini bukan hanya melibatkan orang-orang penting di PT Pertamina (Persero), tetapi juga menyeret sejumlah pelaku dari sektor swasta yang turut berperan dalam kecurangan tersebut.
Hal ini menunjukkan kalau sistem pengawasan dan tata kelola perusahaan, terutama di bidang energi, masih lemah dan harus diperbaiki.
Modus dan Mekanisme Korupsi Pertamina
Modus korupsi dalam kasus ini cukup rumit.
Salah satu bentuk kecurangannya adalah jumlah impor minyak dan bahan bakar dibuat lebih besar dari yang sebenarnya dibutuhkan.
Selain itu, Pertamina juga melanggar kewajiban untuk mengutamakan pasokan dari kilang dalam negeri, sehingga melanggar prinsip efisiensi dan kedulatan energi.
Tidak hanya itu, terjadi pula manipulasi harga, di mana bensin RON 90 (setara dengan Pertalite) diimpor
namun dijual kepada publik dengan label dan harga setara RON 92 (Pertamax).
Bahkan, bensin RON 88 (Premium) dicampur dengan Pertamax namun tetap dijual sebagai Pertamax.
Dampak Kerugian Negara
Negara mengalami kerugian yang sangat besar akibat kasus korupsi ini, yaitu sekitar Rp193,7 triliun atau sekitar 12 miliar dolar AS.
Jumlah tersebut menjadi salah satu angka kerugian terbesar dalam sejarah kasus korupsi di Indonesia.
Padahal, dana sebesar itu sebenarnya dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur, subsidi negara, sektor pendidikan, dan sektor–sektor penting lainnya.
Selain rugi secara finansial yang sangat besar, kasus ini juga menurunkan kredibilitas negara dalam pengelolaan sektor energi.
Reaksi Pemerintah dan Masyarakat
Banyak reaksi yang muncul baik reaksi dari masyarakat maupun pemerintah terhadap kasus
korupsi di Pertamina.
CEO Pertamina, Simon Aloysius Mantiri, segera menyampaikan permintaan maaf secara terbuka dan berkomitmen untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola perusahaan serta meningkatkan transparasi dalam menjalankan perusahaan.
Di sisi lain, masyarakat menunjukkan kekecewaan mereka terhadap produk Pertamina.
Banyak konsumen dari Pertamina mulai beralih ke perusahaan penyedia bahan bakar lainnya seperti Shell, BP, dan Vivo sebagai bentuk protes dan kekecewaan.
Investigasi Internasional
Dalam upaya mengungkapkan kasus korupsi yang melibatkan entitas lintas negara, Kejaksaan Agung Republik Indonesia secara aktif menjalin kerja sama dengan Corrupt Pratices Investigation Bureau (CPIB) Singapura.
Lembaga antikorupsi Singapura ini dilibatkan untuk membantu penyidikan terhadap dugaan keterlibatan sejumlah perusahaan dagang asing yang terindikasi melakukan transaksi ilegal dengan pihak-pihak di Indonesia.
Langkah ini diambil setelah setelah upaya pemanggilan terhadap perwakilan perusahaan-perusahaan tersebut melalui jalur formal di dalam negeri tidak membuahkan hasil.
Oleh karena itu, Kejaksaan Agung menempuh mekanisme hukum internasional dan memperkuat koordinasi diplomatik untuk memastikan pihak-pihak yang terlibat dapat dimintai pertanggung jawaban secara hukum.
Investigasi ini mencerminkan komitmen Indonesia
dalam memberantas korupsi secara menyeluruh, termasuk dalam konteks hubungan ekonomi internasional.
Konsekuensi Hukum dan Sosial
Kasus dari Pertamina ini telah menimbulkan dampak hukum yang signifikan dengan ditetapkannya beberapa tokoh penting sebagai tersangka.
Di antaranya adalah Riva Siahaan, CEO PT Pertamina Patra Niaga; Yoki Firnandi, CEO Pertamina Internasional Shipping; dan Sani Dinar Saifuddin, Direktur Kilang Pertamina Internasional.
Selain itu, nama Muhammad Kerry Andrianto Riza, putra dari pengusaha minyak ternama, juga tercantum sebagai salah satu tersangka, menambah dimensi politik dan ekonomi dalam kasus ini.
Secara hukum, para tersangka menghadapi ancaman hukuman pidana berat, termasuk pasal-pasal terkait pidana korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan kemungkinan tindak pidana pencucian uang.
Dari sisi sosial, kasus ini juga menimbulkan krisis kepercayaan yang mendalam dari masyarakat terhadap perusahaan negara, khususnya Pertamina.
Oleh karena itu, pemerintah dan aparat penegak hukum sangat diperlukan untuk memulihkan kepercayaan publik dan menciptakan efek jera bagi pelaku kejahatan serta mencari solusi dari masalah korupsi tersebut.
Analisis dan Opini
Kasus korupsi dari Pertamina ini menjadi pelajaran pentingnya transparasi pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Ketika perusahaan milik negara tidak dikelola dengan prinsip tata kelola yang baik, dampaknya bisa sangat luas, mulai dari kerugian keuangan negara hingga hilangnya kepercayaan publik.
Selain itu, pengawasan dalam perusahaan baik internal maupum eksternal harus diperkuat.
Internal audit yang memiliki otoritas jelas menjadi kunci dalam mendeteksi penyimpangan sejak dini.
Di sisi lain, lembaga eksternal seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Ombudsman harus diberi ruang dan dukungan penuh untuk melakukan pengawasan tanpa intervensi.
Pemerintah juga perlu menunjukkan ketegasan melalui penegakan hukum yang adil dan konsisten bagi pelaku
kejahatan.
Sanksi yang diberikan kepada pelaku penyimpangan harus menimbulkan efek jera agar tidak ada kasus-kasus selanjutnya.
Kasus korupsi di Pertamina bukan sekadar skandal keuangan, tetapi juga mencerminkan krisis sistemik dalam tata kelola perusahaan milik negara dan lemahnya integritas institusional.
Nilai kerugian negara yang fantastis menjadi indikator betapa parahnya kelalaian dan penyimpangan yang dibiarkan terjadi selama bertahun-tahun.
Lebih dari itu, skandal ini telah mengikis kepercayaan publik terhadap BUMN sebagai agen pembangun nasional.
Masyarakat bukan hanya dirugikan secara ekonomi, oleh karena itu, penanganan kasus ini harus dilakukan dengan transparan, profesional, dan tanpa pandang bulu.
Peristiwa ini seharusnya menjadi momentum refleksi sekaligus titik balik.
Jika dimanfaatkan dengan serius, skandal ini bisa menjadi pemicu lahirnya tata kelola BUMN yang lebih bersih, profesional, dan berorientasi pada kepentingan publik.
Ke depan, hanya dengan integritas, transparasi, dan akuntabilitas yang kuat, BUMN dapat menjalankan perannya secara optimal dalam mendorong pembangun nasional yang adil dan berlanjut.
(Penulis: Chiara Alyssa Yovina Putri, Maria Jessica Anastasia Kewa Weruin –Â Universitas Pamulang)
