Infotangerang.id– Baru-baru ini, media sosial dihebohkan dengan berita mengejutkan dari Dior, sebuah merek mewah Prancis terkenal.
Rahasia di balik produsen barang-barang mewah seperti tas, sepatu, dan parfum mereka mulai terkuak satu per satu.
Hal tersebut terungkap dari unggahan akun Instagram @pikology.
Dalam unggah tersebut menyebutkan bahwa meskipun produk-produk mereka dijual dengan harga yang sangat tinggi, mulai dari puluhan hingga ratusan juta rupiah, ternyata biaya produksi yang dikeluarkan oleh Dior tidak sebanding dengan nilai jual tersebut.
Produksi Tas Dior dihargai Murah
Dior yang merupakan perusahaan mode yang dipimpin oleh CEO Delphine Arnault, putri dari Bernard Arnault, CEO LVMH dan salah satu dari orang terkaya ketiga di dunia menurut Bloomberg Billionaires Index, nyatanya melakukan banyak pelanggaran.
Baru-baru ini, stasiun televisi Korea JTBC juga melaporkan tentang eksploitasi tenaga kerja imigran dalam produksi tas Dior di Tiongkok.
Dalam laporan mereka, JTBC mengungkapkan bahwa biaya produksi untuk tas mewah Christian Dior, yang dijual sekitar 2850 USD (sekitar Rp 46 juta) di toko, sebenarnya hanya sekitar 60 USD (sekitar Rp 980 ribu) atau bahkan kurang dari Rp 1 juta.
Kritik terhadap praktik ini muncul karena Dior dikenal dengan produksi tangan dan bahan baku berkualitas tinggi, namun kini terungkap bahwa barangnya diproduksi dengan biaya yang jauh lebih rendah.
Namun, penyelidikan baru-baru ini telah mengungkapkan bahwa harga tinggi dari tas Dior tidak sebanding dengan biaya produksinya.
Berdasarkan laporan The Street pada Rabu 3 Juli 2024, LVMH kemudian menghadapi tuntutan di pengadilan Milan, Italia pada Maret 2024 terkait dugaan “subkontrak” pekerjaan mereka kepada perusahaan pemasok tas kulit dari Tiongkok yang dilaporkan memperlakukan pekerja dengan buruk.
Oleh karena itu, pihak berwenang Italia sedang menyelidiki kondisi kerja di beberapa pabrik yang memproduksi tas tangan Dior.
Dari hasil penyelidikan tersebut, diduga bahwa Dior membayar pemasok tas sekitar 57 dolar AS atau sekitar Rp 926.352 untuk setiap tas yang dijual dengan harga 2.780 dolar AS atau sekitar Rp 45,1 juta di toko mereka.
Pembayaran tersebut ternyata tidak mencakup biaya pembelian kulit atau bahan baku mentah lainnya.
Dalam kasus ini, perusahaan diberitakan juga menanggung biaya desain, distribusi, dan pemasaran produk Dior secara terpisah.
Selain Dior, perusahaan fesyen Italia lainnya seperti Giorgio Armani dan kontraktornya juga sedang diselidiki.
Armani dilaporkan membayar kontraktor sekitar 99 dolar AS atau sekitar Rp 1,6 juta per kantong untuk produk yang dijual dengan harga lebih dari 1.900 dolar AS atau sekitar Rp 30,8 juta.
Selain itu, Armani juga dituduh kurang mengawasi kontraktornya dengan baik, seperti yang dilansir oleh Deccan Herald pada Sabtu 6 Juli 2024.
Diduga Eksploitasi Pekerja
Pelanggaran yang dilakukan nyatanya tidak hanya itu.
Hasil investigasi juga menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan ini memanfaatkan pekerja untuk memproduksi tas dengan biaya murah.
Dilaporkan oleh Business Insider pada Rabu, perusahaan kontraktor Dior berasal dari China.
Mayoritas pekerja juga berasal dari China, termasuk dua orang yang tinggal secara ilegal di negara tersebut dan tujuh lainnya bekerja tanpa dokumen yang sesuai.
Pihak berwenang mengklaim bahwa Dior gagal melakukan langkah-langkah untuk memantau kondisi kerja di pabrik-pabrik kontraktor mereka.
Selain itu, Dior juga tidak melakukan audit secara berkala terhadap kemampuan teknis perusahaan kontraktor selama beberapa tahun terakhir.
Para pekerja dilaporkan hidup dalam kondisi yang tidak layak untuk memenuhi tenggat waktu produksi.
Bahkan yang lebih miris laagi, mereka tidur di pabrik agar produksi bisa berjalan selama 24 jam sehari.
Para pekerja bekerja selama hari libur dan malam hari untuk memproduksi tas secara terus-menerus.
Perangkat keselamatan dari mesin produksi juga dilaporkan ditarik, memungkinkan pekerja untuk mengoperasikannya dengan kecepatan yang lebih tinggi.
Praktik ini memungkinkan kontraktor untuk mengontrol biaya produksi dan menjual tas dengan harga lebih rendah untuk Dior.
LVMH sendiri tidak memberikan komentar mengenai temuan ini, namun Dior telah mengeluarkan memo yang menyoroti upaya perbaikan dalam rantai pasokannya.
Sedangkan Armani Group menyatakan komitmennya untuk bekerja sama dengan pihak berwenang.
Mereka juga berjanji akan menerapkan langkah-langkah pengendalian serta pencegahan untuk mengurangi risiko pelanggaran dalam rantai pasokan produknya.
Sebuah pengadilan di Milan kemudian memerintahkan kedua perusahaan tersebut ditempatkan di bawah administrasi peradilan selama satu tahun, tetapi diperbolehkan untuk tetap beroperasi selama periode tersebut.
Pelanggaran Aturan Ketenagakerjaan
Jaksa penuntut dalam kasus Dior dan Armani menyatakan bahwa pelanggaran peraturan ketenagakerjaan adalah praktik umum di industri barang mewah untuk meningkatkan keuntungan.
Dokumen pengadilan yang mengusut kasus Dior mengeluarkan ultimatum yang menegaskan bahwa ini bukan hanya terjadi secara sporadis dalam satu lot produksi, melainkan merupakan metode manufaktur yang umum dan telah dikonsolidasikan.
Presiden Pengadilan Milan, Fabio Roia, mengatakan bahwa perusahaan barang mewah seringkali terlibat dalam masalah seperti penganiayaan pekerja, pelanggaran undang-undang ketenagakerjaan, kesehatan dan keselamatan kerja, serta aturan terkait jam kerja dan gaji.
Selain itu, dia juga menyoroti adanya masalah persaingan tidak sehat yang mendorong perusahaan-perusahaan yang patuh hukum untuk keluar dari pasar.
Baca berita lainnya di Infotangerang dan Tangselife