INFOTANGERANG.ID- Pulau Padar, ikon lanskap eksotis Nusa Tenggara Timur (NTT) dan bagian penting dari Taman Nasional Komodo ini, sekarang tengah terancam oleh rencana pembangunan besar-besaran.
PT Komodo Wildlife Ecotourism (KWE) tengah merancang pembangunan 619 fasilitas wisata di Pulau Padar, kawasan konservasi yang masuk Taman Nasional Komodo.
Dari total proyek di Pulau Padar tersebut, sebanyak 448 unit berupa vila mewah, ditambah dengan fasilitas pendukung seperti restoran, pusat kebugaran, spa, hingga kapel khusus untuk pernikahan wisatawan.
Proyek pembangunan ini jelas menuai kecaman dari masyarakat lokal, pelaku pariwisata, dan aktivis lingkungan.
Mereka menyebut proyek tersebut sebagai bentuk komersialisasi brutal atas warisan alam dunia.
Di sisi lain, pihak pemeirntah menyatakan bahwa pembangunan ini akan dikawal ketat agar tidak merusak habitat komodo, spesies purba yang menjadi simbol kawasan ini.
Apa Saja yang Akan Dibangun di Pulau Padar?
Proyek wisata seluas 15,75 hektare ini akan dibangun di atas total lahan 274 hektare dalam tujuh blok kawasan.
Adapun fasilitas yang dirancang akan dibangun antara lain:
1. 448 unit vila, dengan berbagai tipe mulai dari 60 m² hingga 306 m², termasuk vila dengan kolam renang pribadi
2. Restoran dan kafe: 15 unit
3. Fasilitas hiburan dan olahraga: spa, gym, dive centre
4. Kapel pernikahan dan viewing deck
5. Pusat penelitian laut, kantor pengelola, jetty, hingga 7 ruas jalan darat
Proyek Pulau Padar Jadi Ancaman Serius Bagi Komodo
Rencana pembangunan ratusan fasilitas wisata oleh PT KWE di Pulau Padar ini, menimbulkan kekhawatiran serius terhadap kelestarian komodo.
Hal tersebut tercermin dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) atau Environmental Impact Assessment (EIA) yang disusun oleh tim ahli dari IPB, dan dipresentasikan dalam forum konsultasi publik di GMCC Golo Mori pada 23 Juli 2025.
Dalam dokumen tersebut dijelaskan bahwa habitat utama komodo di Pulau Pada yang berada di area lembah, tempat mereka biasa berburu di antara savana dan hutan bakau.
Sayangnya, sejumlah lokasi yang direncakan untuk pembangunan fasilitas wisata itu justru masuk dalam kawasan jelajah dan mencari makan komodo.
Tim penyusun Amdal sendiri telah mengidentifikasi beberapa potensi dampak negatif dari aktivitas pembangunan ini, diantaranya:
1. Kehadiran bangunan di lembah akan mengganggu pergerakan alami komodo dan mendorong mereka menjauh dari habitat aslinya.
2. Keberadaan manusia, terutama para pekerja proyek, dikhawatirkan akan menginterupsi aktivitas vital komodo seperti bersarang dan mencari makan.
Lebih lanjut, tim Amdal juga mencatat risiko komodo menjadi terhabituasi (terbiasa) mencari makan dari limbah dapur proyek yang dibuag sembarangan.
Hal ini bisa mengubah perilaku satwa secara permanen dan membahayakan ekosistem.
Sebagai upaya mitigasi, tim Amdal juga telah menyusun upaya mitigasi dalam pembangunan proyek di Pulau Amdal.
Mulai dari langkah pembangunan semua fasilitas di Pulau Padar harus dibangun dengan sistem panggung (elevated) agar tidak mengganggu pergerakan satwa.
Selain itu, perlu dibuat Standar Operasional Prosedur (SOP) khusus bagi para pekerja terkait perlindungan satwa liar seperti komodo dan ular berbisa.
Langkah lain yang direkomendasikan antara lain, membentuk sistem tanggap darurat untuk gangguan satwa, seperti menyediakan kotak P3K lengkap, serta memasang papan informasi mengenai bahaya interaksi dengan satwa.
Sistem pengelolaan limbah juga harus ditata dengan baik agar tidak mengundang satwa mendekat, ditambah pembangunan pagar bertahap di area proyek.
Apabila ditemukan sarang komodo di sekitar lokasi pembangunan, kegiatan konstruksi harus dihentikan sementara dan segera dilaporkan ke Balai Taman Nasional Komodo (BTNK).
Monitoring berkala terhadap populasi dan lokasi sarang komodo juga menjadi poin penting yang harus dilakukan bersama pihak TNK dan mitra konservasi.
Respons Balai Taman Nasional Komodo Terhadap proyek di Pulau Padar
Menanggapi isi dokumen Amdal tersebut, Kepala BTNK Hendrikus Rani Siga membenarkan bahwa komodo memang tidak mengenal batas wilayah secara administratif.
“Bahkan ke kampung pun mereka bisa masuk,” ujarnya sebagaimana dilansir dari detik.com pada Senin, 4 Agustus 2025.
Karena itu, menurutnya, desain dan pengelolaan kawasan wisata di Pulau Padar harus sangat berbeda dari yang ada di Labuan Bajo.
Ia juga menegaskan bahwa proyek ini harus memenuhi syarat-syarat ketat, mengingat Pulau Padar merupakan bagian dari situs warisan dunia UNESCO.
“Kalau ingin membangun di kawasan berstatus World Heritage Site, maka wajib mengikuti standar yang sangat ketat agar tidak merusak satwa dilindungi, ekosistem, maupun daya tarik wisatanya,” tegas Hengki.
Gerakan #SavePulauPadar Muncul Lagi
Matheus Siagian, pelaku pariwisata sekaligus pemilik Eco Tree O’Tel di Labuan Bajo, secara tegas menyuarakan kekhawatirannya terhadap rencana pembangunan masif di Pulau Padar.
Baginya, proyek tersebut bisa menjadi akhir dari narasi pariwisata berbasis alam yang selama ini menjadi identitas utama kawasan Labuan Bajo.
“Kalau Pulau Padar dibangun, habislah sudah citra pariwisata alaminya,” ungkap Matheus.
Selama ini, Pulau Padar dikenal dunia sebagai simbol ekowisata dengan bentang alam yang masih perawan, perbukitan yang menawan, garis pantai melengkung yang eksotis, dan suasana liar yang tak tergantikan.
Namun, jika proyek ini dilanjutkan, bukan tidak mungkin kawasan konservasi tersebut berpotensi berubah menjadi arena investasi semata.
“Turis datang ke sini karena keasliannya. Kalau hanya mau spa dan bangunan mewah, mereka bisa pilih Bali, bukan taman nasional,” lanjutnya.
Kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan.
Sejumlah riset lingkungan menunjukkan bahwa pembangunan besar di kawasan konservasi hampir selalu membawa dampak negatif: mulai dari rusaknya habitat, terganggunya kehidupan satwa liar, hingga munculnya polusi jangka panjang.
Menanggapi polemik yang berkembang, Kepala BTNK, Hendrikus Rani Siga, mengakui bahwa setiap rencana pembangunan baru di kawasan konservasi memang kerap menuai penolakan.
Ia mengajak publik untuk belajar dari pengalaman serupa, seperti proyek di Loh Buaya yang sebelumnya juga ditolak namun kini dinilai membawa manfaat bagi banyak pihak, mulai dari satwa, wisatawan, pelaku usaha, hingga pengelola kawasan.
Selama proyek tetap mengikuti regulasi dan tidak merusak nilai konservasi, khususnya keberadaan komodo dan habitatnya, BTNK akan terus melakukan pengawasan.
“Kami pastikan semua proses berjalan sesuai prinsip konservasi dan ketentuan hukum. Bahkan, UNESCO pun turut mengawasi karena ini wilayah warisan dunia,” tegas Hendrikus.
Situasi ini membangkitkan ingatan publik pada gelombang penolakan yang pernah terjadi pada 2018, ketika ribuan warga Manggarai Barat bersatu menolak privatisasi di kawasan Taman Nasional Komodo.
Respon pemerintah saat itu cepat, Presiden Joko Widodo mencabut sejumlah izin yang dianggap merugikan.
Kini, gerakan serupa kembali hidup melalui tagar #SavePulauPadar, yang menggema di media sosial dan forum komunitas akar rumput.
Masyarakat mendesak Presiden Prabowo Subianto agar segera mengambil tindakan tegas dan menghentikan proyek tersebut.
Matheus menegaskan bahwa akar masalah bukan hanya datang dari pihak investor, tapi juga dari lemahnya peran negara dalam menjaga amanat konservasi.
“Taman Nasional Komodo itu milik rakyat. Bukan untuk dijadikan proyek bisnis kalangan elite. Kalau negara malah berpihak pada investor, siapa yang menjaga?” katanya lantang.
Adapun untutan masyarakat dan pelaku pariwisata atas proyek di Pulau Padar ini adalah:
1. Audit menyeluruh terhadap semua izin pembangunan di kawasan Taman Nasional Komodo
2. Transparansi penuh dari Kementerian LHK dan BTNK terhadap dokumen perizinan
3. Moratorium proyek-proyek besar di seluruh zona konservasi
4. Keterlibatan nyata masyarakat lokal dalam setiap proses pengambilan keputusan
