INFOTANGERANG.ID-  Artificial Intelligence (AI) kecerdasan buatan telah merambah hampir semua lini kehidupan, namun belum ada regulasi AI untuk mengaturnya.

Dari industri ekonomi kreatif, pendidikan, hiburan, hingga pemerintahan, AI jadi “mesin baru” yang mempercepat produksi dan distribusi informasi secara masif.

Menurut Akademisi dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Adhyaksa, Muhammad Arbani belum ada satu pun regulasi yang secara khusus dan komprehensif mengatur penggunaan AI.

Padahal, dampak dari teknologi ini tidak main-main. Mulai dari potensi pelanggaran hak cipta dalam konten digital, penyalahgunaan deepfake, hingga penyebaran informasi palsu yang bisa mengguncang stabilitas politik dan sosial.

Tanpa landasan hukum yang jelas, Indonesia bisa jadi lahan subur bagi eksploitasi AI tanpa kendali.

Regulasi AI dan Celah Hukum yang Menganga

Hingga saat ini, regulasi terkait AI di Indonesia hanya bersandar pada UU ITE dan Surat Edaran Menkominfo Nomor 9 Tahun 2023. Sayangnya, kedua regulasi ini belum mampu menjawab tantangan spesifik yang dihadirkan AI modern.

UU ITE dirancang untuk transaksi elektronik secara umum, bukan untuk mesin yang bisa membuat lagu, video, bahkan opini politik tanpa campur tangan manusia. Sementara Surat Edaran Menkominfo hanya bersifat imbauan etis, tidak memiliki kekuatan hukum untuk memberikan sanksi.

“Ketika AI bisa membuat keputusan atau karya sendiri, pendekatan hukum konvensional jadi usang,” ujar seorang pakar teknologi hukum dari Jakarta, mengomentari absennya UU khusus AI.

Ekonomi Kreatif vs Hak Cipta: Siapa Pemilik Karya AI?

Di sektor ekonomi kreatif, banyak konten saat ini, mulai dari lagu, ilustrasi, hingga video sepenuhnya dihasilkan oleh aplikasi AI seperti Suno, Boomy, atau Synthesia. Konten ini kemudian diunggah ke platform seperti YouTube dan dimonetisasi.

Tapi muncul pertanyaan besar: siapa yang sah sebagai pemilik hak cipta? Dalam sistem hukum saat ini, hanya manusia yang bisa memiliki hak cipta. Jika sebuah lagu dibuat sepenuhnya oleh mesin, secara hukum tak ada pencipta yang bisa diklaim.

Artinya, tidak ada subjek hukum yang bisa menerima royalti atau mempertahankan hak eksklusifnya.

Lebih parahnya lagi, AI bisa tanpa sengaja meniru karya orang lain karena datanya dilatih dari sumber publik. Jika ini terjadi, siapa yang harus bertanggung jawab? Pengguna? Pengembang AI? Atau tidak ada pihak yang bisa dituntut?

Disinformasi Berbasis AI: Ancaman Nyata di Dunia Digital

Selain ekonomi, AI juga membuka potensi bahaya baru dalam ranah politik dan keamanan informasi. Teknologi deepfake memungkinkan pembuatan konten visual atau audio yang sangat mirip dengan tokoh publik. Dalam banyak kasus, konten ini digunakan untuk menyebarkan kebohongan atau menjatuhkan reputasi seseorang.

Ketika video palsu seorang pejabat disebar luas ke publik, siapa yang akan dimintai pertanggungjawaban? Di sinilah letak kekosongan hukum yang sangat berbahaya. Tanpa regulasi, polisi pun kesulitan menindak pelaku karena tidak ada landasan hukum yang kuat untuk mendefinisikan dan mengatur pelanggaran berbasis AI.

Solusi: UU atau Regulasi AI yang Inklusif, Adaptif, dan Partisipatif

Melihat kompleksitas tantangan yang muncul, pembentukan Undang-Undang AI sudah tidak bisa ditunda. Tapi, prosesnya tidak boleh terburu-buru atau hanya didikte oleh pemerintah. Regulasi yang baik harus melibatkan banyak pihak: komunitas teknologi, akademisi, pelaku industri, dan masyarakat sipil.

Regulasi AI perlu memuat prinsip-prinsip dasar seperti:

  • Keadilan dalam perlindungan hak cipta
  • Akuntabilitas atas konten AI
  • Transparansi dalam proses pengambilan keputusan algoritma
  • Perlindungan data pribadi
  • Etika penggunaan AI dalam politik dan informasi publik

Indonesia bisa belajar dari pendekatan terbuka seperti di Uni Eropa dan Jepang yang menyusun regulasi AI berbasis riset dan konsultasi publik.

AI bukan lagi teknologi masa depan. Ia sudah hadir dan aktif membentuk ulang cara kita bekerja, berkomunikasi, bahkan berpikir. Tapi tanpa kerangka hukum yang kuat dan jelas, Indonesia berisiko bukan hanya tertinggal, tapi juga menjadi korban dari teknologi yang tak terkendali.

Sudah saatnya kita berhenti menunggu. UU AI bukan pilihan, tapi kebutuhan mendesak.

Dapatkan Berita Terbaru lainya dengan Mengikuti Google News Infotangerang
sosmed-whatsapp-green Follow WhatsApp Channel Infotangerang
Follow
Nadia Lisa Rahman
Editor
Nadia Lisa Rahman
Reporter