INFOTANGERANG.ID– Sumpah Pemuda menjadi momen penting dalam sejarah pergerakan pemuda Indonesia.
Namun, tidak banyak yang mengetahui bahwa pada saat itu lagu “Indonesia Raya” untuk pertama kalinya dibawakan oleh Wage Rudolf (WR) Soepratman.
WR Soepratman adalah salah satu tokoh yang menghadiri Kongres Pemuda II pada 27-28 Oktober 1928 yang kemudian terbentuknya Sumpah Pemuda.
Melansir dari laman Museum Sumpah Pemuda, kongres ini berlangsung dalam tiga sesi di tiga lokasi berbeda, yaitu di Gedung Perhimpunan Pemuda Katolik, Gedung Oost Java Bioscoop, dan Indonesische Clubgebouw di Jakarta Pusat.
Pada malam 28 Oktober 1928, dengan keberanian, WR Soepratman memberikan sebuah surat kepada Sugondo Djojopuspito, selaku ketua kongres.
Dari secarik surat itu, sebuah awal sejarah akhirnya tercipta.
Meskipun saat Proklamasi Kemerdekaan dan lagu Indonesia Raya dikumandangkan di seluruh negeri, WR Soepratman tida bisa menyaksikannya.
Indonesia Raya dan Sumpah Pemuda
Pada malam 28 Oktober 1928, peserta Kongres Pemuda II sedang berpindah dari Gedung Oost Java Bioscoop ke Indonesische Clubgebouw di Jakarta Pusat.
Mereka tengah menantikan pengumuman ikrar Sumpah Pemuda yang disusun oleh Mohammad Yamin.
WR Supratman, yang juga merupakan teman Sugondo Djojopuspito, mengirimkan secarik surat untuk menanyakan apakah ia boleh membawakan lagu kebangsaan yang ia ciptakan.
Namun, permintaan ini tidak dijawab karena kongres tersebut diawasi ketat oleh Polisi Rahasia Belanda.
Sugondo khawatir jika lagu “Indonesia Raya” diperdengarkan, kongres bisa dihentikan, padahal mereka sudah sangat dekat dengan pembacaan ikrar Sumpah Pemuda.
Karena tidak mendapatkan jawaban, WR Supratman akhirnya bertanya langsung kepada Sugondo, “Bung Gondo, apakah saya dapat memperdengarkannya sekarang?”
Melihat kesungguhan WR, Sugondo kemudian bertanya kepada pejabat pemerintah Belanda yang hadir saat itu, van Der Plas.
Namun, jawabannya tidak memuaskan; ia menyarankan Sugondo untuk menunjukkan lirik lagu itu kepada Komisaris Polisi Belanda, der Vlugt, yang juga hadir.
Karena semakin ragu, Sugondo akhirnya memutuskan untuk memperbolehkan Supratman memperkenalkan lagu tersebut, dengan syarat hanya dimainkan dalam bentuk melodi biola, tanpa dinyanyikan.
WR Supratman pun setuju dengan ketentuan itu.
Ia kemudian berdiri di depan peserta kongres, mengeluarkan biolanya, dan menggesekkan alat musik itu dengan penuh semangat.
Para hadirin yang mendengar tampilannya antusias dan berdiri, menikmati momen dengan khidmat.
Melodi yang dimainkan membuat mereka terpesona.
Saat selesai, WR Supratman dipeluk oleh beberapa peserta dengan mata berkaca-kaca, diiringi tepuk tangan yang riuh.
Sementara itu, pemerintah dan polisi Belanda yang hadir hanya bisa tertegun, tidak mengerti apa yang sedang terjadi.
Setelah penampilan selesai, para pemuda meminta WR Supratman untuk menyanyikannya kembali.
“Bis! Bis! Bis!” seru mereka dalam bahasa Belanda, meminta agar ia mengulangi.
Namun, WR Supratman tidak merespons permintaan itu, berusaha menepati janjinya kepada Sugondo.
Diburu Polisi Belanda-Jepang
Diperkenalkan pada tahun 1928, lagu “Indonesia Raya” pertama kali muncul setelah WR Supratman melihat sayembara di sebuah majalah pada tahun 1924.
Sayembara tersebut meminta “Warga Negara Kita yang Bisa Membuat Lagu Kebangsaan.”
Tantangan ini menjadi pendorong bagi WR Supratman untuk menggubah lagu kebangsaan tersebut, menciptakan musik dan lirik orisinil berdasarkan pemikirannya sendiri.
Setelah resmi diperkenalkan pada malam Sumpah Pemuda, nama WR Supratman langsung terkenal.
“Indonesia Raya” segera dinyanyikan dengan semangat sebagai lagu kebangsaan.
Namun, kehadiran lagu ini mulai menuai ancaman dari pemerintah Belanda.
Para pemuda sering memelesetkan lirik “Indonesia Raya Mulia.. Mulia..” menjadi “Indonesia Raya.. Merdeka… Merdeka,” yang kita kenal juga sekarang ini.
Kekuatan lagu ini begitu besar sehingga Gubernur Jenderal Belanda, De Graeff, terpaksa menegaskan bahwa “Indonesia Raya” bukanlah lagu kebangsaan dan melarang pemutaran lagu ini di depan umum pada tahun 1930.
Akibatnya, WR Supratman dipanggil oleh aparat Belanda untuk diinterogasi mengenai maksud dan tujuan penciptaan lagunya.
Ia membantah tuduhan bahwa ia menghasut rakyat dengan menyisipkan kata “Merdeka” untuk memberontak melawan pemerintahan kolonial.
Sebagai bukti, ia menunjukkan pamflet lirik asli lagu tersebut.
Setelah diperiksa, aparat menemukan bahwa liriknya tertulis “Mulia,” bukan “Merdeka.”
Karena tidak cukup bukti, WR Supratman diizinkan pulang.
Setelah penangkapan itu, antara tahun 1933 dan 1937, Supratman hidup berpindah-pindah tempat, dari Jakarta ke Cimahi (Bandung) dan kemudian ke Pemalang.
Pada bulan April 1937, ia dibawa oleh saudaranya ke Surabaya dalam keadaan sakit.
Kabar tentang kondisinya sampai ke teman-teman seperjuangannya, yang kemudian menjenguk WR Supratman.
Pada 7 Agustus 1938, ia ditangkap oleh Belanda karena lagu berjudul “Matahari Terbit,” yang dianggap sebagai wujud simpati terhadap Kekaisaran Jepang.
Meskipun sempat ditahan, ia dibebaskan karena kurangnya bukti.
Namun, setelah itu, kondisi kesehatannya semakin menurun, dan ia akhirnya meninggal dunia.
WR Supratman wafat pada 7 tahun sebelum naskah proklamasi dibacakan, tepatnya pada 17 Agustus 1938.
1 Komentar