Infotangerang.id- Berikut 9 Wali Songo beserta nama aslinya.
Mungkin kita semua familiar dengan istilah “Wali Songo,” yang merujuk kepada kesembilan tokoh yang memiliki peran penting dalam menyebarkan Islam di Indonesia, terutama di Jawa.
Mereka adalah figur kunci dalam proses Islamisasi di wilayah tersebut.
Dalam bahasa Jawa, istilah “Wali Songo” mengandung arti “wali yang sembilan,” menunjukkan jumlah para wali yang ada adalah sembilan.
Namun, ada interpretasi lain yang mengaitkannya dengan bahasa Arab “tsana,” yang berarti mulia. Setiap Wali Songo memiliki pendekatan dakwah yang unik untuk mencapai tujuan mereka.
Pendekatan mereka meliputi bidang pendidikan, tradisi, dan bahkan seni.
Strategi yang diterapkan oleh Wali Songo terbukti berhasil, secara bertahap membuat masyarakat Jawa menerima Islam dan belajar tentang agama tersebut dari mereka.
Akibatnya, banyak dari mereka memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai bukti penerimaan mereka terhadap Islam.
9 Wali Songo Beserta Nama Aslinya
Menurut Drs. Imam Subchi, MA dalam bukunya “Sejarah Kebudayaan Islam” untuk Madrasah Aliyah Kelas XII, Wali Songo memulai penyebaran agama Islam di pulau Jawa setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit.
Pada periode ini, munculnya Kerajaan Demak yang berbasis Islam menjadi momentum penting dalam sejarah penyebaran agama Islam di Jawa.
Jika diminta untuk menyebutkan nama-nama mereka, mungkin kita dapat dengan mudah menyebutkan nama-nama tersebut beserta nama aslinya.
1.Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim, atau juga dikenal sebagai Maulana Maghribi, adalah salah satu dari Wali Songo.
Tahun kelahiran Sunan Gresik tidak diketahui secara pasti, namun kehadirannya dikenal telah menetap di Gresik untuk menyebarkan ajaran Islam hingga akhir hayatnya pada tanggal 12 Rabiul Awwal 822 H.
Saat wafatnya, bertepatan pada tahun 1419 M setelah mendirikan sebuah pondokan sebagai tempat pembelajaran agama di Leran, yang bertepatan dengan tanggal 8 April 1419 M.
Jasadnya kemudian dimakamkan di desa Gapurosukolilo, yang terletak di Kecamatan Gresik, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Selain menjadi Wali yang menebarkan agama Islam, Sunan Gresik juga adalah seorang ahli dalam tata negara yang menjadi penasehat bagi raja, mengajar para pangeran, dan dermawan bagi fakir miskin.
Meskipun sudah lama meninggal dunia, namun makamnya masih sering dikunjungi oleh masyarakat sampai hari ini.
Sunan Gresik juga dikenal sebagao sebagai penyiar Islam pertama di tanah Jawa, hingga Sunan Gresik dihormati sebagai Ayah dari Wali Songo.
Menurut silsilahnya, Sunan Gresik adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad SAW melalui pernikahan Siti Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib.
Ia juga adalah ayah dari Sunan Ampel dan kakek dari Sunan Bonang serta Sunan Drajat.
2.Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Nama asli Sunan Ampel adalah Raden Rahmat. Sunan Ampel lahir di Kerajaan Champa, Vietnam.
Sunan Ampel juga berdarah biru, karena ia adalah cucu dari seorang raja Champa, dan ayahnya adalah Ibrahim As-Samarkandi, yang menikahi Dewi Candra Wulan, seorang putri dari Raja Champa.
Tidak hanya terlahir sebagai seorang ningrat, Raden Rahmat juga merupakan turunan ke-22 dari Nabi Muhammad SAW.
Ketibaannya ke tanah Jawa langsung mengantarkan Raden Rahmat ke Majapahit, karena bibinya, Dewi Dwara Wati, menikah dengan Raja Brawijaya.
Sunan Ampel dikenal sebagai tokoh yang menyebarkan ajaran Islam di Jawa Timur. Dia dianggap sebagai Sunan pertama di Demak dan pemimpin asli dari Wali Songo.
Di Tuban, Sunan Ampel bertemu dengan dua tokoh masyarakat, yaitu Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang Kuning, yang kemudian memeluk Islam bersama keluarganya.
Keputusan kedua tokoh Masyarakat tersebut memeluk islam tentu memudahkan Sunan Ampel dalam mendekati masyarakat dan melakukan dakwah Islam, mengajarkan tauhid dan ibadah.
Sunan Ampel meninggal pada tahun 1406 M dan dimakamkan di Kompleks Masjid Ampel, Surabaya. Makamnya masih sering dikunjungi oleh peziarah dari seluruh Indonesia.
3. Sunan Bonang (Maulana Makhdum Ibrahim)
Sunan Bonang adalah putra dari Sunan Ampel dan Dewi Candrawati. Seperti ayahnya, Sunan Bonang juga dikenal sebagai salah satu dari Sembilan wali yang paling berpengaruh di tanah Jawa.
Sunan Bonang juga terkenal sebagai seorang ahli dalam Ilmu Kalam dan Ilmu Tauhid. Maulana Makhdum Ibrahim banyak belajar di Pasai, dan setelah kembali, ia mendirikan pesantren di Tuban.
Santri yang datang ke pesantren Maulana Makhdum Ibrahim, tidak hanya dari daerah Tuban saja, banyak dari santri Sunan Bonang berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia.
Sunan Bonang meninggal pada tahun 1525 dan dimakamkan di Tuban, daerah pesisir utara Jawa yang menjadi basis perjuangan dakwahnya.
Selama hidupnya, Sunan Bonang sering menggunakan kesenian sebagai alat dakwah untuk menarik masyarakat Jawa agar memeluk Islam.
Tak hanya jasanya saja yang begitu luarbiasa berpengaruh terhadap perkembangan Islam di tanah Jawa, karya Sunan Bonang juga tak lekang oleh waktu.
Lagu-lagu seperti “Wijil” atau “Tombo Ati” yang dipopulerkan oleh Opick adalah karya Sunan Bonang.
Untuk menambahkan unsur Islami dalam karyanya, ia menggunakan instrumen seperti rebab dan bonang, yang merupakan bagian dari gemelan Jawa.
Karena kontribusinya dalam seni dan dakwah ini lah, ia diberi julukan “Sunan Bonang”.
Tak cukup sampai disana, Sunan Bonang memiliki metode unik dalam dakwahnya dengan mengganti nama-nama dewa dengan nama-nama malaikat dalam agama Islam.
Ini merupakan upaya persuasif terhadap penganut agama Hindu dan Buddha yang telah lama dianut sebelumnya.
4. Sunan Drajat (Raden Qasim)
Selain Makhdum Ibrahim atau Sunan Bonang, Raden Qasim yang juga merupakan putra dari Sunan Ampel, dikenal oleh masyarakat di seluruh Indonesia sebagai Sunan Drajat.
Dalam usahanya untuk menyebarkan agama Islam di Indonesia, ia mengutamakan kegiatan sosial sebagai sarana utama dakwahnya.
Sesuai julukannya, Sunan Drajat aktif berdakwah di daerah Drajad, kecamatan Paciran, Lamongan.
Ia memimpin program penyantunan untuk anak-anak yatim dan orang-orang sakit. Selain itu, Sunan Drajat juga intens berdakwah kepada masyarakat umum.
Ia sangat menekankan nilai-nilai dermawan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran sebagai bagian dari praktik agama Islam.
5.Sunan Kudus (Ja’far Shadiq)
Wali Sanga dan nama asli selanjutnya adalah Sunan Kudus yang nama aslinya adalah Ja’far Shadiq, atau dikenal juga sebagai Raden Undung.
Sunan Kudus lahir pada 9 September 1400 Masehi. Sunan Kudus diberi sebutan tersebut karena memilih Kudus sebagai tempat utama berdakwahnya selama bertahun-tahun.
Ia adalah putra dari Raden Usman Haji, yang berperan dalam penyebaran agama Islam di daerah Jipang Panolan, Blora, Jawa Tengah.
Sunan Kudus juga dikenal sebagai “wali al-ilmi” karena kepakarannya dalam ilmu agama, terutama dalam tafsir, fikih, usul fikih, tauhid, hadits, dan logika.
Tidak hanya memiliki banyak ilmu pengetahuan, Raden Kudus juga sangat menonjolkan toleransi antar agama, dan cara berdakwahnya adalah dengan mendekatkan penganut agama Hindu dan Buddha ke dalam Islam.
Toleransinya terhadap agama lain juga membuatnya dipercaya untuk mengelola pemerintahan di Kudus, sehingga menjadi pemimpin pemerintahan (Bupati) sekaligus pemimpin agama.
Sunan Kudus meninggal di Kudus pada tahun 1550, dan makamnya terletak di dalam kompleks Masjid Menara Kudus.
6.Sunan Giri (Raden Paku)
Sunan Giri, yang memiliki nama asli Raden ’Ainul Yaqin, adalah putra dari Syekh Maulana Ishaq, yang juga dikenal sebagai Raden Paku, murid dari Sunan Ampel.
Sunan Ampel menugaskannya untuk menyebarkan agama Islam di Blambangan. Sunan Giri belajar di pesantren Ampel Denta dan kemudian melakukan perjalanan haji bersama Sunan Bonang setelah dewasa.
Saat dalam perjalanan haji bersama Sunan Bonang, keduanya singgah di Pasai untuk memperdalam ilmu keimanan dan tasawuf.
Dalam sebuah kisah, disebutkan bahwa Raden Paku, yang merupakan salah satu dari Wali Songo, dapat mencapai tingkat ilmu laduni.
Karena prestasinya ini, Raden Paku juga dikenal dengan panggilan Raden ‘Ainul Yaqin. Sunan Giri meninggal sekitar awal abad ke-16, dan makamnya terletak di Bukit Giri, Gresik.
7.Sunan Kalijaga (Raden Said)
Sunan Kalijaga, yang memiliki nama kecil Raden Sahid dan julukan Syekh Malaya, adalah putra dari adipati Tuban bernama Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur.
Agama Islam dipelajarinya dari Sunan Bonang, di mana ia juga memperoleh pengajaran tentang penggunaan kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk menyebarkan agama Islam.
Mengikuti Langkah gurunya, Sunan Kalijaga juga bergelut di dunia kesenian. Salah satu kesenian yang sering digunakan oleh Sunan Kalijaga dalam berdakwah adalah wayang kulit dan tembang suluk.
Banyak masyarakat yang percaya bahwa tembang suluk seperti “Lir-Ilir” dan “Gundul-Gundul Pacul” adalah karya Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga adalah salah satu dari Wali Songo yang berasal dari orang Jawa asli. Ia meninggal pada pertengahan abad ke-15 dan makamnya terletak di desa Kadilangu, Kabupaten Demak, Jawa Tengah.
8. Sunan Muria (Raden Umar Said)
Raden Umar Said, yang juga dikenal sebagai Sunan Muria, adalah anak dari Sunan Kalijaga dan Dewi Saroh.
Nama “Muria” diyakini berasal dari Gunung Muria, tempat di mana Sunan Muria dimakamkan sekarang. Ia dikenal sebagai Sunan Muria karena pusat dakwahnya berada di Bukit Muria.
Tanggal pasti meninggalnya Sunan Muria tidak tercatat dalam sejarah, namun diperkirakan beliau meninggal pada abad ke-16 dan dimakamkan di Bukit Muria, Kudus.
Dalam gaya dakwahnya, Sunan Muria mengadopsi metode yang digunakan oleh ayahnya, yakni Sunan Kalijaga, yang menggunakan kesenian sebagai sarana dakwah.
Namun, Sunan Muria lebih memilih tinggal di daerah terpencil dan menjauh dari keramaian kota untuk menyebarkan agama Islam.
Selain itu, beliau juga mengajarkan kepada masyarakat sekitar cara bercocok tanam, berdagang, dan berlayar laut.
9. Sunan Gunung Jati (Syrif Hidayatullah)
Sunan Gunung Jati adalah Wali Sanga Terakhir, yang memiliki nama asli Syarif Hidayatullah.
Perannya dalam penyebaran Islam di Jawa Barat sangatlah signifikan. Beliau juga dikenal sebagai pendiri Kesultanan Cirebon dan Banten.
Asal-usul Sunan Gunung Jati berasal dari Pasai, dan ia adalah pendiri dinasti kesultanan Banten yang dimulai dengan putranya, Sultan Maulana Hasanudin.
Pada tahun 1527, Sunan Gunung Jati memimpin serangan terhadap Sunda Kelapa di bawah pimpinan panglima perang Kesultanan Demak, Fatahillah.
Sunan Gunung Jati adalah sosok yang cerdas dan tekun dalam mengejar ilmu. Ia diberi izin oleh ibunya untuk menuntut ilmu di Makkah, di mana ia berguru pada Syekh Tajudin Al-Qurthubi.
Kemudian, ia melanjutkan studinya ke Mesir, berguru pada Syekh Muhammad Athaillah Al-Syadzili, seorang ulama bermadzhab Syafi’i, dan memperdalam ilmu tasawuf tarekat syadziliyah.
Sunan Gunung Jati meninggal di Cirebon pada tahun 1570, diperkirakan pada usia sekitar 80 tahun. Makamnya berada di kompleks pemakaman Wukir Sapta Pangga di Gunung Jati, Desa Astana Cirebon, Jawa Barat.
