Infotangerang.id – Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan beda agama yang diajukan E.
Ramos Petege pemuda asal Kampung Gabaikunu, Mapia Tengah, Papua.
“Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Prof Anwar Usman dilansi dari Antara, Rabu (01/02/2023).
Dalam pokok permohonannya yang dibacakan ulang oleh Hakim Arief Hidayat, pemohon menyampaikan sejumlah dalil yang
menyatakan inkonstitusionalitas Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Menurut pemohon, perkawinan adalah hak asasi yang merupakan ketetapan atau takdir tuhan.
Setiap orang berhak untuk menikah dengan siapapun juga terlepas dari perbedaan agama.
Atas dasar itu, pemohon menilai negara tidak bisa melarang atau tidak mengakui pernikahan beda agama.
Negara dinilainya juga harus bisa memberikan suatu solusi bagi pasangan beda agama.
Kemudian alasan lain pemohon menggugat UU Perkawinan ialah mengenai Pasal 2 Ayat (1) pada hakikatnya dinilainya telah
menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dengan apa yang dimaksud dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu.
Menurut pemohon, banyak institusi agama yang tidak bersedia melangsungkan
perkawinan beda agama termasuk adanya penolakan pencatatan oleh petugas catatan sipil.
Apabila perkawinan hanya diperbolehkan dengan yang seagama hal ini dinilainya
mengakibatkan negara pada hakikatnya memaksa warga negaranya.
Selanjutnya, menurut pemohon, Pasal 2 Ayat (2) menimbulkan tafsir bagi pelaksana UU Nomor 1 Tahun 1974 tidak dimungkinkan untuk
melangsungkan perkawinan beda agama dengan menggeneralisasi berbagai tafsir dalam hukum agama, dan kepercayaan
masing-masing untuk menghindari perkawinan beda agama.
Hakim MK Prof Enny menyebutkan hak asasi manusia merupakan hak yang diakui
Indonesia yang kemudian tertuang dalam UUD 1945 sebagai hak konstitusionalitas warga negara.
Meskipun demikian, hak asasi manusia berlaku di Indonesia haruslah sejalan dengan
falsafah ideologi Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila sebagai identitas bangsa.
Ia juga menjelaskan dalam konteks perkawinan yang menjadi pokok persoalan perkara, terdapat perbedaan konstruksi
jaminan perlindungan antara Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan UUD 1945. Pasal 16 Ayat (1) UDHR menyebutkan
secara eksplisit “Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa dengan tidak dibatasi
kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga”.
Sementara itu, UUD 1945 memiliki konstruksi rumusan berbeda melalui Pasal 28B Ayat (1) yang menyebutkan
“Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.
Berdasarkan rumusan Pasal 28B Ayat (1) UUD 1945 tersebut, ada dua hak yang dijamin
secara tegas dalam ketentuan a quo yaitu hak membentuk keluarga dan hak melanjutkan keturunan. (AZM/ASN)