Seruan All Eyes On Papua Menggema di Media Sosial, Dukung Aspirasi Suku Adat Papua

Seruan All Eyes On Papua Menggema di Media Sosial, Dukung Aspirasi Suku Adat Papua

Infotangerang.id– Setelah All Eyes On Rafah menjadi tren di media sosial, sekarang banyak pengguna internet beramai-ramai memposting poster dan menggunakan tagar All Eyes On Papua.

Mari bersama-sama mendukung aspirasi suku adat Papua untuk mendapatkan kembali hak-haknya.

Seruan untuk memperhatikan kondisi Papua bergema di media sosial, terutama di Twitter atau platform X, dan terus menjadi topik yang sedang tren hingga saat ini.

Dalam unggahan dari akun @tanyakanrl pada tanggal 31 Mei 2024 lalu, disebutkan bahwa hak-hak masyarakat Papua sedang disalahgunakan secara paksa oleh pihak berwenang.

Unggahan tersebut berisi poster dengan tulisan “All Eyes on Papua” yang telah menjadi viral dan telah dilihat lebih dari 1,1 juta kali serta mendapatkan lebih dari 47 ribu like.

Salah satu poster menampilkan gambaran hutan yang gersang di atas tanah yang kering.

Di antara pohon-pohon kering tersebut, terdapat ilustrasi seorang individu yang mencerminkan masyarakat adat Papua.

Dalam posting tersebut, warganet diminta untuk menyuarakan tagar All Eyes on Papua sebagai bentuk dukungan terhadap hak-hak masyarakat Papua.

Hak-hak yang direnggut oleh serobotan hutan adat untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit oleh pihak yang serakah.

Poster lainnya mengungkapkan bahwa hutan di Boven Digul, Papua, dengan luas lebih dari 36 ribu hektar atau lebih dari separuh luas Jakarta, akan dihancurkan dan digantikan dengan perkebunan kelapa sawit oleh PT Indo Asiana Lestari.

Proyek perkebunan kelapa sawit ini tidak hanya berpotensi untuk menghilangkan hutan alam, tetapi juga akan menghasilkan emisi sebanyak 25 juta ton karbon dioksida.

Jumlah emisi ini setara dengan 5% dari tingkat emisi karbon pada tahun 2030.

Dampaknya tidak hanya berdampak pada warga Papua, tetapi juga akan berdampak global.

Hutan adalah Sumber Kehidupan

All eyes on Papua
Hutan adalah Sumber Kehidupan masyarakat Papua

Masyarakat adat Awyu dan Moi adalah pihak yang paling terdampak oleh pembabatan hutan tersebut.

Karena Hutan merupakan sumber kehidupan yang memberikan segala kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat Awyu dan Moi, seperti sumber pangan, air, dan hasil hutan lainnya.

Berdasarkan informasi dari akun Instagram @jktgo pada Senin 3 Juni 2024, masyarakat Maga Woro dan Suku Awyu telah mengajukan gugatan terkait izin lingkungan untuk kebun sawit PT IAL.

Gugatan tersebut diajukan dengan didampingi oleh Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua.

Proses gugatan saat ini sedang berlangsung di Mahkamah Agung (MA).

Ini merupakan harapan terakhir bagi masyarakat adat Marga Woro dan suku Awyu untuk mempertahankan hutan yang telah menjadi bagian integral dari kehidupan mereka secara turun temurun.

Berdasarkan laporan dari Antara pada tanggal 8 Juni 2022, Suku Moi merupakan salah satu kelompok etnis di dataran Papua yang bermukim di wilayah pesisir utara.

Saat ini, Suku Moi banyak tinggal di bagian Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya.

Suku Moi terdiri dari tujuh sub-suku, termasuk Suku Moi Kelim, Moi Abun That, Moi Abun Jhi, Moi Salkma, Moi Klabra, Moi Lemas, dan Moi Maya.

Budaya Egek untuk Melindungi Alam

All eyes on Papua
Budaya Egek Suku Moi untuk Melindungi Alam

Suku Moi telah menerapkan budaya Egek sejak zaman dahulu, yang merupakan suatu budaya adat yang menekankan pentingnya menjaga alam dengan mengambil sumber daya alam secara bijaksana.

Budaya ini termasuk dalam penggunaan mesin yang tidak ramah lingkungan.

Karena itu, Suku Moi cenderung lebih memilih menggunakan perahu adat mereka daripada perahu bermesin.

Egek  juga dikenal sebagai Sasi dalam budaya Maluku.

Budaya egek ini adalah praktik budaya untuk melestarikan lingkungan hidup dengan tidak mengambil hasil alam tertentu dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan masyarakat.

Budaya Egek telah lama diterapkan oleh Suku Moi. Inti dari budaya ini adalah mengambil sumber daya alam sesuai kebutuhan dan tidak melakukan eksploitasi berlebihan terhadap kekayaan alam.

Sebagian dari Masyarakat Hukum Adat (MHA) Suku Moi, terutama kelompok Moi Kelim yang tinggal di Desa Malaumkarta dan Desa Suatolo, telah mengadopsi penggunaan sumber energi terbarukan untuk kebutuhan listrik.

Sebelum tahun 2016, MHA Suku Moi Kelim belum memiliki akses listrik.

Namun, setelah tahun tersebut, masyarakat mengambil inisiatif untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) yang ramah lingkungan.