INFOTANGERANG.ID- Sebuah kabar mengejutkan datang dari Sekolah Rakyat di Tangsel atau SRMA 33 Tangsel.
Sebanyak sembilan siswa secara resmi mengundurkan diri, bahkan beberapa tanpa keterangan jelas, dari total 150 siswa yang sempat terdaftar di sekolah tersebut.
Kabar ini disampaikan oleh Direktur Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia Kementerian Sosial, Suratna, dalam rapat kerja bersama Komisi VIII DPR RI di Asrama BLKI, Serpong Utara, Tangsel, 17 September 2025.
“Ada sembilan yang mengundurkan diri. Itu dari hasil pembicaraan kami dengan kepala sekolah,” ujar Suratna.
Dengan demikian, kini jumlah siswa aktif tinggal 141 orang.
Alasan Siswa Sekolah Rakyat di Tangsel Mundur: Tidak Siap Disiplin dan Masalah Keluarga
Menurut Suratna, sebagian besar siswa yang memilih keluar tidak sanggup mengikuti pola kedisiplinan ketat yang diterapkan di Sekolah Rakyat di Tangsel, mulai dari bangun subuh, mandi pagi, hingga mengikuti jadwal sekolah dan kegiatan rutin lainnya.
“Banyak dari mereka belum siap dengan pola hidup disiplin. Mereka lebih nyaman dengan kebiasaan lama, termasuk jajan bebas di luar,” ungkapnya.
Lebih jauh, ia menambahkan bahwa latar belakang keluarga juga menjadi faktor signifikan. Beberapa siswa datang dari keluarga dengan kondisi sosial-psikologis yang kompleks. Ada siswa yang memilih keluar karena ingin tinggal bersama orang tua setelah orang tuanya bercerai.
Gina Intana Dewi, Kepala SRMA 33 Tangsel, membenarkan bahwa sembilan siswa yang mundur memang sudah menunjukkan tanda-tanda ketidaknyamanan sejak awal.
“Kami sebenarnya sudah mencoba melakukan pendekatan personal kepada mereka. Tapi pada akhirnya, mereka tetap memilih untuk keluar,” jelas Gina.
Menurutnya, beberapa siswa dijemput langsung oleh orang tua mereka, namun ada pula yang memilih keluar sendiri tanpa pamit secara resmi.
Yang menarik, kesembilan siswa tersebut berasal dari berbagai daerah, antara lain Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Pandeglang, Cilegon, dan Serang.
“Kalau dilihat dari latar belakangnya, secara sosial, ekonomi, dan psikologis mereka memang cukup rentan. Dalam satu bulan interaksi, kami menyadari mereka membawa beban emosional dari lingkungan keluarga,” jelas Gina.
Kasus ini memperlihatkan bahwa pendidikan berbasis kedisiplinan belum tentu cocok untuk semua latar belakang siswa. Banyak di antara mereka datang dengan trauma atau konflik keluarga yang belum selesai. Maka dari itu, penanganan berbasis pendekatan psikososial sangat dibutuhkan, tidak hanya sekadar aturan ketat di sekolah.
