INFOTANGERANG.ID – Istilah brain rot atau pembusukan otak kini bukan lagi sekadar sindiran di media sosial.

Para ahli menyebutkan bahwa fenomena brain rot sebagai ancaman nyata, khususnya bagi anak-anak dan remaja yang otaknya masih dalam tahap perkembangan.

Brain rot merujuk pada penurunan fungsi intelektual akibat konsumsi konten digital berlebihan yang dangkal.

Terlalu banyak menonton video pendek, scrolling media sosial, atau bermain game pasif tanpa tantangan kognitif bisa berdampak buruk bagi otak anak.

Mengapa Brain Rot Berbahaya Bagi Anak?

Menurut Dr. Costantino ladecola dari Weill Cornell Medicine, otak anak sangat rentang dengan dampak konten digital.

Alih-alih merangsang otak untuk berpikir dan berimajinasi, konten seperti itu justru menyebabkan brain fog, rentang perhatian yang menurun sehingga kesulitan mengatur emosi.

Profesor sosiologi dari Kenyon College, Marci Cottingham, bahkan mengaku secara pribadi mengalami efek brain rot usai terlalu lama mengonsumsi konten dari TikTok.

Fenomena ini dianggap sebagai sinyal sosial atas krisi kognitif yang sedang dihadapi generasi muda.

Ancaman Brain Rot untuk Anak

Dikutip dari Instagram @berdikaribook, berikut adalah beberapa ancaman brain rot untuk anak yang bersumber dari sejumlah buku:

Imajinasi mati muda yang diganti oleh feed

Dulu mungkin saja anak-anak sering membayangkan awan sebagai kapal atau bermain peran sebagai penyihir dan dinosaurus.

Namun kini, semua imajinasi itu perlahan tergantikan oleh algoritma. Sebelum anak bertanya “Mengapa?”, video sudah memberikan jawabannya.

Menurut buku The Whole-Brain Child, saat anak hanya menjadi konsumen pasif dari rangsangan digital, bagian kreatif dan reflektif dalam otaknya tidak berkembang.

Dengan begitu imajinasi anak pun tak lagi tumbuh dari dalam, tapi diberikan secara instan oleh layar.

Saat dopamin menggantikan dialog

Konten digital di media sosial bekerja seperti gula yang memberikan kesenangan cepat tapi mengosongkan kualitas pengalaman.

Anak-anak jadi kehilangan kesabaran karena dunia telah mengajari mereka untuk memuaskan keinginan tanpa proses.

Dalam The Montessori Child, Simone Davies menekankan bahwa anak membutuhkan ruang dan waktu untuk berkembang, bukan hanya umpan instan dari layar.

Algoritma bukan pengasuh yang tepat

Bayangkan setiap kali anak menangis langsung disodori video YouTube.

Lama-lama, mereka belajar bahwa ketenangan tidak datang dari pelukan, tapi dari layar gadget.

Hal ini bisa mengganggu perkembangan emosional dan sosial anak dalam jangka panjang.

Buku The Opt-Out Family mengingatkan pentingnya membangun interaksi manusia nyata di era yang didominasi layar.

Karena mendidik anak bukan soal menghibur, tapi menemani mereka memahami makna kebosanan, ketidaktahuan, dan kesabaran.

Tanda-tanda Brain Rot Menurut Penelitian

Studi awal dari jurnal Brain Sciences pada 2025 mengindentifikasi tiga pemicu utama brain rot yang meliputi durasi screen time yang berlebihan, kecanduan media sosial, dan overload kognitif akibat konten cepat dan dangka.

Gejala yang terjadi pada anak bisa berupa memori jangka pendek terganggu, sulit fokus, rentang perhatian menyemput, impulsif, dan ketergantungan pada kepuasan instan.

Pada remaja dengan kecenderungan depresi atau gangguan fokus, efek brain rot bisa lebih parah.

Bahkan kondisi itu memperburuk mental yang sudah ada.

Dengan demikian fenomena brain rot mengingatkan kita, termasuk orang tua, bahwa bukan hanya teknologi yang harus canggih tapi juga perhatian tersendiri.

Anak-anak membutuhkan ruang untuk merasa bosan, untuk membayangkan, untuk bertanya, dan mengalami dunia tanpa algoritma.

Langkah kecil seperti mematikan gadget selama satu jam sehari dan hadir secara utuh bersama anak bisa menjadi bentuk perlawanan paling penting menghadapi fenomena ini.

Dapatkan Berita Terbaru lainya dengan Mengikuti Google News Infotangerang
sosmed-whatsapp-green Follow WhatsApp Channel Infotangerang
Follow
Dwi Oktaviani
Editor
Dwi Oktaviani
Reporter