INFOTANGERANG.ID- Gelombang aksi penolakan perubahan RUU TNI atau Rancangan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menggeliat di sejumlah daerah di Indonesia sepekan terakhir.

Aksi penolakan tersebut mulai dari media sosial, aski mahasiswa turun ke jalan, hingga pernyataan sikap tokkoh bangsa serta akademisi.

Mereka mengecam pembahasan kebut RUU TNI yang dikebut bahkan dituding tertutup atau dilaksanakan secara diam-diam agar disahkan sebelum reses DPR pada 20DP Maret atau hari ini Kamis, 20 Maret 2025.

DPR dan pemerintah bahkan disebut menjadwalkan pengesahan revisi UU TNI pada rapat paripurna hari ini.

Aksi penolakan RUU TNI ini semakin santer dikumandangkan publik karena berpotensi menghidupkan lagi dwifungsi militer yang sudah dihapus pascareformasi 1998.

Gelombang Aksi Penolakan RUU TNI

aksi tolak ruu tni
Momen Menteri Hukum Supratman Andi Agtas berbincang dengan aksi massa di depan Kantor Parlemen Rabu, 19 Maret 2025

Sejak Selasa, 18 Maret 2025 sejumlah aksi penolakan di beberapa daerah telah dilakukan, beberapa diantaranya:

1. Aksi tolak RUU TNI di Jakarta yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Trisaksi di depan kompleks parlemen.

Massa bahkan sempat mengadang masuk mobil yang membawa Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, dan memintanya untuk turun.

Supratman datang ke kompleks parlemen itu untuk membahas lagi materi RUUU TNI yang rencananya akan disahkan hari ini.

Supratman kemudian turun dari mobil dan berbincang dengan sejumlah massa aksi.

Dalam perbincangannya dengan mahasiswa, Supratman mengklaim bahwa RUU TNI tersebut hanya akan dilakukan terhadap satu pasal dan hanya menyeseuaikan gramatikal tata bahasanya saja.

2. Aksi penolakan juga terjadi di Makassar.

Sejumlah aktivis dari Alinasi Masyarakat Sipil Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), melakukan aksi unjuk rasa menolak RUU TNI di kantor DPRD Sulsesl dan Kodam XIV Hasanuddin.

Mereka mendesak pemerintahan Presiden Prabowo dan DPR RI untuk menghentikan pembahasan RUU TNI tersebut.

Menurut mereka, pembahasan Revisi UU TNI itu daat menghidupkan kembali dwifungsi ABRI yang pernah terjadi di masa Orde Baru.

3. Massa Aliansi Jogja memanggil juga menggelar unjuk rasa mengajak kepada sejumlah masyarakat untuk menggagalkan RUU TNI di depan Museum TNI AD Dharma Wiratama, Gondokusuman, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta pada Selasa, 18 Maret 2025.

Massa yang mayoritas mengenakan pakaian hitam menggelar aksi setelah pukul 16.00 WIB untuk menyuarakan penolakan terhadap RUU TNI.

Salah satu bentuk ekspresi mereka adalah dengan memasang spanduk besar di depan Monumen atau Tenger Markas Tertinggi Tentara Keamanan Rakyat.

Dalam aksi tersebut, Humas Aliansi Jogja Memanggil, Bung Kus, menyerukan agar rekan-rekan di kota-kota lain turut berpartisipasi dalam menggagalkan RUU TNI dengan melakukan aksi sesuai kemampuan mereka.

Aksi unjuk rasa tersebut dilaksanakan di depan Museum TNI sebagai simbol untuk ‘memuseumkan’ dwifungsi militer.

Mereka ingin menyampaikan pesan kepada publik bahwa dwifungsi ABRI, yang telah meninggalkan catatan kelam dalam sejarah, seharusnya dimuseumkan.

Hal ini merujuk pada peran dwifungsi ABRI pada era Orde Baru yang turut terlibat dalam berbagai tindakan represif dan pelanggaran HAM.

Mereka berpendapat bahwa dwifungsi ABRI, yang pernah terkait dengan pembangunan melalui Repelita, seharusnya menjadi bagian dari museum agar masyarakat bisa menyadari dan secara tegas menyatakan bahwa dwifungsi ABRI tidak boleh terjadi lagi di Indonesia.

Aliansi tersebut juga mengungkapkan bahwa RUU TNI berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi ABRI dan multifungsi militer, yang mereka anggap sebagai pengkhianatan terhadap reformasi 1998.

Dalam tiga hari terakhir, civitas akademika di Yogyakarta, termasuk dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Islam Indonesia (UII), mengeluarkan sikap resmi untuk menolak RUU TNI.

Mereka menilai RUU tersebut dapat menghidupkan kembali dwifungsi militer seperti pada masa Orde Baru.

Aksi dilakukan dengan memasang poster bertuliskan ‘Tolak RUU TNI’, ‘Tolak Dwifungsi TNI’, dan ‘Kembalikan TNI ke Barak’ di halaman depan Gedung Balairung pada 18 Maret.

Para dosen dari UGM dan UII turut menyampaikan pernyataan yang menegaskan tidak ada urgensi untuk membahas perubahan UU TNI, apalagi jika proses tersebut dilakukan secara tertutup di hotel mewah daripada di Gedung DPR yang seharusnya menjadi rumah rakyat.

Mereka juga menyoroti bahwa proses tersebut bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang menekankan pentingnya partisipasi publik yang berarti dalam pembentukan hukum.

Mereka menyatakan bahwa publik berhak didengarkan dan dipertimbangkan dalam proses tersebut.

Massa aksi juga menilai draf revisi UU TNI yang sedang dibahas berpotensi mengancam independensi peradilan dan memperkuat impunitas atau kekebalan hukum bagi anggota TNI, yang menurut mereka bertentangan dengan prinsip negara hukum demokratis.

Hal tersebut dapat membawa Indonesia kembali ke masa otoritarianisme seperti pada era Orde Baru.

Pada 19 Maret, UII kembali menyampaikan sikap penolakan terhadap RUU TNI.

Rektor UII, Fathul Wahid, berharap kampus-kampus dan masyarakat sipil bisa bersuara lantang menolak revisi Undang-undang TNI dan membatalkan pengesahannya di DPR.

Ia menyatakan bahwa UII merasa penting untuk menanggapi potensi kebangkitan dwifungsi TNI yang dapat mengulangi sejarah kelam Indonesia pada masa Orde Baru, yang sebaiknya tidak terulang lagi.

4. Di Solo, massa mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) menggelar demo tolak RUU TNI di depan kantor DPRD Solo.

Mahasiswa tersebut menggelar orasi dan membentangkan sejumlah spanduk di depan kantor DPRD Solo bertuliskan, ‘Hapuskan RUU TNI’, dan ‘Tolak RUU TNI’.

5. Di Surabaya, pada Rabu kemarin, sekelompok aktivis yang memperingati Hari Perempuan Internasional (IWD) juga mengungkapkan penolakan terhadap RUU TNI.

Dalam aksi tersebut, puluhan peserta melakukan long march dari Jalan Basuki Rahmat menuju Jalan Gubernur Suryo dan melaksanakan aksi teatrikal di depan kantor gubernur Jawa Timur, Gedung Negara Grahadi.

Penanggung jawab aksi, Elsa Ardhilia Putri, menyatakan bahwa penolakan terhadap RUU TNI disebabkan oleh kecemasan bahwa militerisme yang melekat pada TNI dapat mempersempit ruang bagi perempuan dan mengurangi representasi rakyat.

Elsa juga mengungkapkan kekhawatiran mereka jika RUU TNI tidak mendapat pengawasan yang cukup, maka RUU tersebut bisa segera disahkan.

Oleh karena itu, mereka terus menyuarakan penolakan, termasuk di tingkat lokal, dan mendesak agar masyarakat Surabaya menegaskan penolakan terhadap RUU TNI, mengingat pada malam sebelumnya, DPR telah mengesahkan RUU tersebut dan akan segera dibawa ke rapat paripurna.

Dapatkan Berita Terbaru lainya dengan Mengikuti Google News Infotangerang
sosmed-whatsapp-green Follow WhatsApp Channel Infotangerang
Follow
Iis Suryani
Editor
Iis Suryani
Reporter