INFOTANGERANG.ID- Istilah “manusia tikus” belakangan viral di kalangan Gen Z, khususnya di China, sebagai bentuk protes terhadap tekanan hidup.
Sebagai informasi, Cen Z atau generasi Z adalah mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012.
Para Gen Z di China kini tengah ramai-ramai menyebut diri mereka sebagai “manusia tikus”.
Istilah ini merupakan protes atau bentuk ekspresi dari sebuah gaya hidup baru yang anti ambisi, anti kompetitif, dan sangat lamban, bahkan cenderung pasif.
Fenomena manusi tikus ini mencuat setelah video viral yang diunggah akun TikTok milik Zhejiang, @jiawensishi, pada akhir Februari 2025 lalu.
Dalam video tersebut, sang kreator memperlihatkan rutinitas hariannya yang nyaris tanpa aktivitas berarti.
Ia hanya tidur sepanjang hari, makan hanya jika dibangunkan orang tua, tidak mandi hingga dini hari, dan lebih memilih menyendiri daripada bersosialisasi.
Ia kemudian menyebut dirinya sebagai “manusia tikus”.
Istilah tersebut langsung ramai digunakan Gen Z lainnya yang merasa hidup mereka serupa, yakni enggan mengejar kesuksesan, tidak punya motivasi besar, dan lebih suka menghabiskan waktu dengan cara paling minim energi.
Dalam waktu singkat, video itu kemudian mendapat lebih dari 400.000 likes dan menjadi perbincangan hangat di media sosial khususnya Tiongkok.

Fenomen Manusia Tikus sebagai Bentuk Protes Hidup Serba Cepat
Banyak pengguna media sosial menyebut video tersebut sebagai presentasi paling jujur dari kehidupan mereka saat ini.
Sebagain besar bahkan mengaku sudah muak dengan tekanan hidup modern yang menuntut produktivitas tinggi, efisiensi maksimal, dan kompetisi terus menerus.
“Yang kami inginkan hanyalah kebebasan untuk rebahan kapan pun dan di mana pun,” tulis seorang pengguna dalam kolom komentar.
Tren ini bahkan dianggap sebagai bentuk evolusi dari gerakan “berbaring datar” atau lying flat yang lebih dulu populer beberapa tahun lalu, sebagai respons pasif terhadap tekanan sosial dan ekonomi China.
Melansir dari Kompas.com, psikologis klinis Adelia Octavia Siswoyo, M.Psi, menilai bahwa fenomena manusia tikus ini tidak lepas dari perubahan cara pandang Gen Z terhadap kesehatan mental.
Mereka cenderung memilih istirahat sebagai cara utama dalam mengatasi stres dan burnout, bukan memaksakan diri untuk terus produktif.
Adelia menyebut bahwa bagi Gen Z, rehat adalah bentuk perlawanan.
Gen Z tidak melihat burnout sebagai sesuatu yang harus dilawan dengan kerja lebih keras, tapi justru dengan menarik diri dan menolong diri sendiri terlebih dahulu.
Namun, ia menegaskan bahwa ini bukan berati melepaskan semua tanggung jawab hidup.
Fenomena manusia tikus ini bisa dimaklumi asal tetap ada upaya menyelesaikan kewajiban yang harus ditanggung.
Startegi Mengatasi Burnout
Adelia menyarankan dua pendekatan dalam mengelola burnout, yakni:
1. Problem-focused coping
Strategi ini menekankan penyelesaian masalah. Misalnya, menyelesaikan tugas terlebih dahulu, lalu memberi diri waktu untuk istirahat atau bersenang-senang.
2. Emotion-focused coping
Pendekatan ini fokus pada pengelolaan emosi. Individu yang memilih strategi ini biasanya memproses perasaannya lebih dulu, menenangkan diri dari stres, dan baru kembali menghadapi rutinitas.
Keduanya bisa diterapkan sesuai kebutuhan masing-masing individu.
Kuncinya adalah mengenali kapan saatnya beristirahat dan kapan saatnya mengambil tanggung jawab.
Dibalik lelucon dan meme, fenomena “manusia tikus” adalah cermin dari realitas sosial Gen Z di China, atau bahkan diberbagai belahan dunia.
Mereka hidup dalam era tekanan ekonomi, tuntutan sosial, dan ekspetasi yang terus meninggi.
Namun mereka memilih cara berbeda, bukan bertarung, melainkan berdiam dan menyendiri.
Fenomena ini menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan antara kesehatan mental dan tanggung jawab hidup.
Hal ini karena, pada akhirnya bertahan di tengah dunia yang semakin keras tidak selalu harus dengan menjadi yang tercepat, terkadang justru denagn berhenti sejenak dan menjadi manusia tikus.

1 Komentar